CGI, IMF, dan Sistem Ekonomi
Pancasila
Sistem Ekonomi
Pancasila (SEP) merupakan sistem ekonomi yang digali dan dibangun dari
nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Beberapa prinsip dasar yang
ada dalam SEP tersebut antara lain berkaitan dengan prinsip kemanusiaan,
nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi yang diwujudkan dalam ekonomi
kerakyatan, dan keadilan. Sebagaimana teori ekonomi Neoklasik yang
dibangun atas dasar faham liberal dengan mengedepankan nilai
individualisme dan kebebasan pasar (Mubyarto, 2002: 68), SEP juga dibangun atas
dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang bisa berasal dari
nlai-nilai agama, kebudayaan, adat-istiadat, atau norma-norma, yang membentuk
perilaku ekonomi masyarakat Indonesia.
Dengan demikian
dalam merumuskan SEP ini perlu dicari sumber-sumber yang menjadi “acuan tindak”
dari masyarakat, yang antara lain bisa terefleksi dalam beragam peribahasa
(pepatah) yang sarat dengan nilai-nilai dan pesan moral kehidupan di segala
bidang, disamping dari kesenian (wayang, tari-tarian, lagu), petatah-petitih,
ataupun dongeng. Peribahasa mengandung beragam makna, bisa berupa
peringatan, prinsip dan sikap hidup, ajaran, nilai-nilai, ataupun etika, yang
semuanya mengandung makna atau ajaran dan nilai yang disepakati masyarakat.
Misalnya saja beberapa peribahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
kita adalah: “Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian” (ajaran untuk bekerja keras).
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing (ajaran tentang kebersamaan,
pemerataan, dan keadilan), Kalah jadi abu, menang jadi arang (peringatan
untuk hindari konflik), Ketika ada sama dimakan, waktu tak ada sama ditahan (sikap
hidup yang berorientasi pada keadilan), Ada udang dibalik batu (ajaran
untuk tidak bermaksud buruk), Air beriak tanda tak dalam (perilaku-ajaran).
Atau peribahasa Barat, yang sesuai dengan nilai yang dianutnya, “A
golden key open every door” (Dengan uang segala kesulitan dapat diatasi!).
Pandangan
tentang utang
Jika dalam
berperilaku ekonomi kita menggali dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat kita sendiri, maka sebenarnya sudah banyak peringatan untuk
sejauh mungkin mengindari utang, atau tidak berutang secara berlebihan dan
diluar kemampuan untuk membayar kembali. Oleh karena
itu, mentalitas pengutang yang ditunjukkan oleh pemerintah, yang
menggantungkan pada pinjaman luar negeri untuk mendukung anggaran pemerintah,
merupakan penyimpangan sikap hidup dan nilai-nilai serta ajaran ekonomi yang
mengakar dalam masyarakat. Pandangan hidup ekonomi ini bisa dilihat dari
beragam pepatah (peribahasa), yang mengingatkan untuk berhati-hati dalam
berutang.
Ajaran tentang
utang-piutang dalam peribahasa ini, misalnya, mengatakan “Utang melilit
pinggang” atau “Utang sebanyak gulu” yang mengandung nilai untuk tidak
berlebihan dalam berutang. Pepatah lain “Besar pasak dari pada tiang”
merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan ekonomi masyarakat untuk hidup sesuai
dengan kemampuannya dan tidak bersifat hedonistik, mengajarkan untuk tidak
memaksakan diri dalam berkonsumsi jika itu pada akhirnya memberatkan. Hidup
harus sesuai dengan batas-batas yang dimilikinya, dan tidak tergantung pada
orang lain (kemandirian dan nasionalisme) Sebagai suatu norma (elemen dari
sistem), “ajaran” yang terkandung dalam pepatah itu diakui sebagai kebenaran
oleh masyarakat Indonesia. Ini tidak berarti bahwa utang itu tidak dibolehkan
sama sekali, melainkan mengingatkan bahwa dalam berutang perlu dilihat
kemampuan untuk membayar kembali, dan pengeluaran harus dikendalikan.
Dengan dasar
falsafah hidup yang terkandung dalam peribahasa yang menjadi norma ekonomi
tersebut dapat dinilai sejauh mana utang-utang luar negeri yang dibuat
oleh masyarakat Indonesia (pemerintah dan swasta) saat ini sesuai dengan norma
ekonomi kita. Nilai utang luar negeri yang totalnya mencapai US$141 milyar
(lebih separo adalah utang pemerintah), jika dilihat dengan berbagai indikator
makro yang ada, sudah menggambarkan penyimpangan dari prinsip-prinsip
dasar dari perilaku yang sejalan dengan sistem ekonomi yang berkembang dalam
masyarakat. Dengan melihat Debt-service ratio (DSR) atau Debt to GDP
ratio (DGR) tergambar bahwa utang ini sudah melampaui kemampuan kita untuk
membayar kembali. Misalnya, “konvensi” ahli ekonomi yang moderat, menyatakan
bahwa DSR ini maksimal 25%. Namun DSR Indonesia saat ini sudah sekitar 50%.
Utang
pemerintah ini dibuat bukan saja ketika Indonesia menghadapi masa sulit,
melainkan juga ketika kita sedang “banjir uang dari minyak” (oil boom) di tahun
1970-an dan awal 1980-an. Pada waktu itu yang dilakukan pemerintah bukan
menyimpan atau menabung sebagian dana minyak tersebut, sebagaimana yang
dilakukan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang menyimpan dan
menginvestasikan dananya di negara-negara Barat. Indonesia sebaliknya malah
meningkatkan pinjamannya kepada IGGI (yang tahun 1992 berubah menjadi CGI)
dengan “jaminan” penerimaan minyak yang besar. Akibatnya, ketika utang sudah
mulai jatuh tempo, nila tukar rupiah merosot, dan penerimaan minyak semakin
terbatas, Indonesia menghadapi kesulitan membayar kembali utangnya. Kita
tejebak dalam fenomena “Gali lubang, tutup lubang”. Di samping itu,
ketergantungan pada negara lain menjadi tinggi, dan kedaulatan ekonomi pun
“tersandera” pada lembaga-lembaga keuangan internasonal.
Peringatan
untuk menggali nilai-nilai SEP
Langkah
pemerintah tersebut telah menyimpang dari nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, yang mengingatkan dan mengajarkan untuk “Sedia payung sebelum
hujan” atau “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Ketika
terjadi oil boom, pemerintah seperti terlena dan lupa
daratan. Kita lupa bahwa cadangan minyak kita terbatas, harga minyak
berfluktuasi, dan ketergantungan penerimaan dari satu komoditi sangat
membahayakan perekonomian. Ini sebagai akibat perilaku yang ingin cepat enak,
cepat kaya. Padahal sikap demikian merupakan perilaku keliru, yang dalam
pepatah lama sudah diingatkan “Baru hendak bertunas sudah dipetik, lama-lama
matilah pokoknya” (Baru beruang sedikit sudah boros, akhirnya
sengsara). Akibatnya, perekonomian dilanda krisis mendalam, khususnya
sektor modern yang akhirnya berdampak pada sektor lainnya.
Kasus
terbelenggunya kita pada utang, dan juga terperosoknya Indonesia dalam krisis
ekonomi yang terjadi sekarang, merupakan “peringatan” kepada bangsa kita untuk
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yakni nilai-nilai sistem
Ekonomi Pancasila, dalam memecahkan masalah ekonomi yang dihadapi bangsa ini.
Adalah menjadi tanggung jawab kita semua, terutama kalangan cerdik pandai,
untuk melakukan kajian-kajian empirik dalam merumuskan nilai-nilai yang
membentuk perilaku ekonomi orang Indonesia.
Bagaimanakah
selanjutnya kita menyikapi utang luar negeri ini, yang diberikan oleh
negara-negara dan lembaga internasional anggota CGI? Sikap pemerintah
yang mulai “menurunkan” besaran komitmen utang luar negeri yang dibuat sudah
merupakan kebijakan yang tepat, walaupun nilai penurunannya masih relatif kecil
yang hanya “mengimbangi” nilai bunga dan cicilan utang yang dijadwalkan
kembali. Untuk mengurangi ketergantungan dan beban generasi masa akan datang,
sudah selayaknya ada penjadwalan yang jelas tentang kapan kita harus berhenti
berutang. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan komitmen pinjaman yang sudah
dibuat sebelumnya, yang sampai saat ini banyak yang belum bisa dimanfaatkan
sepenuhnya. Misalnya tahun lalu, sekitar 25% komitmen pinjaman dari CGI tidak
bisa ditarik, baik karena ketidaksiapan program yang didanai maupun karena counterpart
fund yang tidak memadai. Akibatnya Indonesia harus membayar commitment
fee yang besarnya 0,75% dari nilai pinjaman yang tidak ditarik tersebut.
Pemutusan
Kontrak dengan IMF
Dalam kaitan
dengan IMF, juga mendesak bagi pemerintah untuk segera menghentikan
kontrak dngan lembaga internasional tersebut, walaupun sebenarnya juga
sudah terlambat. “Jeratan” IMF pada kendali kebijakan perekonomian
Indonesia, sehingga menurunkan kedaulatan nasional ekonomi kita, sudah
berjalan sangat lama dengan hasil yang minimal, menelan biaya sosial-ekonomi
yang mahal. Tetangga kita yang sama-sama mengalami krisis, Korea Selatan dan
Thailand, hanya kurang dari dua tahun sudah melepaskan diri dari IMF. Bahkan,
Malaysia pada awal krisis secara tegas menolak untuk dibantu IMF. Mereka tidak
ingin dibantu atau berlama-lama berada di “tangan” IMF, karena tak ingin
kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional tersebut. Mereka tak
ingin nasionalisme ekonominya “digadaikan” dengan hasil yang belum jelas. Sayangnya
Indonesia, yang dalam sistem ekonominya yang ber-Pancasila mensyaratkan nasionalisme
ekonomi, justru terjebak dalam tangan IMF, dan ternyata juga gagal
memulihkan ekonomi nasional.
Jika kita
mengatakan IMF gagal membantu pemulihan ekonomi Indonesia, ini bukanlah sesuatu
yang mengejutkan. Karena sejauh ini peran IMF dengan filosofi yang
dipegangnya tak selalu cocok untuk negara berkembang. Kebijakan-kebijakan IMF
yang meliberalkan perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya,
sistem kurs bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi
pemerintah, tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan
ekonomi negara berkembang. Tak kurang dari Joseph E. Stiglitz, ekonom
dunia terkemuka peraih nobel tahun 2001, menohok IMF yang dikatakannya dengan
ahli ekonom “kelas tiga” ingin mengatur negara-negara yang sangat komplek
permasalahan ekonominya. Hasilnya, menurut Stiglitz dalam “Globalization and
Its Discontents” , justru mendorong penyebaran resesi ekonomi dari satu
negara ke negara lain, menyulitkan kaum miskin karena IMF sangat berorientasi
pada kepentingan elit para kreditor, menimbulkan pengangguran, dan sebagainya.
Kritik Stiglitz
pada IMF tersebut tampak jelas dalam ekonomi Indonesia saat ini. Sebagai syarat
bantuan IMF (yang pada awalnya saja ada 130 prasyarat), anggaran diketatkan dan
defisit ditekan yang akhirnya menuai kelambanan pertumbuhan ekonomi dan
meningkatnya pengangguran, penjualan BUMN secara obral dan jatuh ke tangan
asing, hapusnya segala bentuk subsidi dalam tempo singkat dengan
konsekuensi merosotnya daya beli masyarakat, terus meningkatnya penduduk
miskin, dan sebagainya. Kita terpaksa mengikuti pandangan IMF karena
itulah syarat dari pinjaman yang diberikan. Namun demikian harus diakui
IMF cukup membantu mengatasi persoalan jangka pendek, seperti gejolak nilai
tukar rupiah. Dalam hal ini, dana dan figur IMF cukup membantu mengatasi
gejolak kurs dan mempersuasi pelaku ekonomi untuk tetap berusaha di tanah air.
Oleh karena
itu, bagaimanapun juga mundurnya IMF kelak tetap perlu disikapi dan diwaspadai
kemungkinan dampak negatif yang muncul. Birokrasi ekonomi kita selama
lima tahun didukung secara ketat oleh IMF dan kemudian dilepas, sehingga
yang terjadi bagaikan “anak yang ditinggal pergi” orang tuanya. Akibatnya
mengalami shock karena kehilangan penuntun dan belum siap mandiri. Ini
pula yang bisa terjadi dengan penyusun dan pelaksana kebijakan ekonomi
nasional. Namun demikian inilah proses pendewasaan yang harus dihadapi
perencana dan pelaksana kebijakan ekonomi Indonesia. Karenanya aspek-aspek
makro ekonomi seperti berkaitan dengan efisiensi pemanfatan utang luar negeri,
masuknya modal asing, peningkatan ekspor, pengendalian impor, penghematan
anggaran khususnya yang menggunakan devisa, dan mencegah terjadinya capital
outflow. Kebijakan yang berkaitan dengan mengundang masuk dana dari luar
negeri dan menghemat keluarnya devisa merupakan langkah yang diharapkan bisa
mengkompensasi dana yang tak lagi mengucur dari IMF.